Dodot motif alas - alasan
Busana dan tata
rias yang dikenakan penari dalam pagelaran tari Bedhaya Ketawang adalah
layaknya pengantin putri Kraton Surakarta. Hal tersebut dikarenakan tari
Bedhaya Ketawang merupakan reaktualisasi pernikahan Panembahan Senopati dan Kanjeng
Ratu Kidul, sehingga busana yang dikenakan haruslah busana pengantin, yang
lazim disebut sebagai Basahan. Busana tersebut meliputi kain dodot, samparan,
serta sondher. Dodot merupakan kain yang memiliki ukuran 2 atau 2,5 kali kain
panjang biasa, hingga panjang dodot bisa mencapai 3,75 hingga 4 meter. Pada
masa lalu, kain ini hanya dikenakan oleh raja dan keluarga serta kaum ningrat
untuk upacara tertentu, sepasang pengantin keraton, serta penari Bedhaya dan
Serimpi.
Sebagaimana pengantin, maka
dodot yang digunakan bermotif alas-alasan. Tarian ini memiliki dua penari
utama, yaitu batak dan endhel ajeg yang dapat dibedakan dari warna dodot
mereka. Meskipun memiliki motif yang sama yaitu alas-alasan, tetapi warnanya
berbeda. Batak dan endhel ajeg mengenakan dodot alas-alasan berwarna hijau
gelap yang disebut dodot gadung mlathi, sedangkan 7 penari lainnya mengenakan
dodot alas-alasan berwarna biru gelap yang disebut dodot bangun tulak.
Kata bangun tulak berasal dari
kata bango dan tulak. Bango merupakan nama sejenis burung yang dipercaya
memiliki umur yang sangat panjang. Sementara itu tulak berarti mencegah bala
atau kejahatan. Versi lain kain alas-alasan adalah gadhung mlathi yang memiliki
lapisan bawah berwarna hijau sesuai dengan makna gadhung dan lapisan tengah
berwarna putih sebagaimana warna bunga melati. Kain tersebut dikenakan sebagai
bentuk penghormatan pada Kanjeng Ratu Kidul, karena dipercaya beliau sangat
menyukai warna hijau. Selain itu hijau merupakan simbol kemakmuran,
ketentraman, dan rasa ketenangan. Lembaran kain dodot tersebut dihiasi dengan
motif alas-alasan, yang berarti rimba raya. Penamaan ini berkaitan dengan
elemen-elemen yang membentuk motif tersebut, yaitu penggambaran seisi belantara
yang meliputi aneka jenis hewan dan tumbuhan, yaitu:
a. Ragam
hias garuda
Dalam batik motif semen, motif
garuda merupakan motif yang paling tinggi kedudukannya di antara motif lain.
Garuda dipercaya sebagai burung dewa, kendaraan Wisnu, dan sekaligus sebagai
simbol matahari. Dalam konsep dewa raja, raja diposisikan sebagai titisan Wisnu
(dewa pemelihara), sehingga kendaraannya disejajarkan dengan kendaraan Wisnu.
Simbol garuda dapat meninggikan kedudukan raja yang berkuasa.
b. Ragam
hias kura-kura
Kura-kura dipercaya sebagai
lambang dunia bawah atau lambang bumi. Dalam agama Hindu, kura-kura merupakan
penjelmaan Wisnu yang diharapkan akan dapat menjalankan tugasnya menjaga bumi
bila bersatu dengan istrinya yaitu Dewi Sri atau Dewi Kesuburan.
c. Ragam
hias ular
Ular dianggap sebagai simbol perempuan
dan merupakan bagian dari konsep kesuburan, hujan, samudera, dan bulan.
Sementara itu naga sebagai ular dewa merupakan lambang air dan bumi. Watak
tersebut dilambangkan sebagai Dewi Sri. Dalam pengertian simbol, naga
melambangkan dunia bawah, air, perempuan, bumi, dan yoni.
d. Ragam
hias burung
Burung merupakan lambang dunia
atas yang menggambarkan elemen hidup dari udara (angin) dan melambangkan watak
luhur. Kadangkala burung menjadi lambang nenek moyang yang telah meninggal atau
dipakai sebagai kendaraan roh menuju Tuhannya. Penggunaan ragam hias burung
melambangkan bahwa manusia pada akhirnya akan kembali ke asalnya, yaitu kepada
Sang Pencipta.
e. Ragam
hias Meru
Motif meru merupakan simbol
gunung. Menurut paham Indonesia kuno, gunung melambangkan unsur bumi atau
tanah. Pada kebudayaan Jawa Hindu, puncak gunung yang tinggi merupakan tempat
bersemayam para dewa. Sementara itu pada pola batik, ragam hias meru
menyimbolkan tanah atau bumi yang menggambarkan proses hidup tumbuh di atas
tanah.
f. Ragam
hias Pohon Hayat
Melambangkan kesatuan dan
ke-Esaan. Bahwa Tuhan yang menciptakan alam semesta
g. Ragam
hias Ayam Jantan
Di Indonesia dipandang sebagai
symbol keberanian dan tanggung jawab
h. Ragam
hias kijang
Kijang adalah lambang kelincahan
dan kebijaksanaan yang menyimbolkan kelincahan dalam berfikir dan mengambil
tindakan serta keputusan.
i. Ragam
hias gajah
Merupakan lambang kendaraan raja
yang melambangkan kedudukan luhur, mengandung arti sesuatu yang paling tinggi,
paling besar, dan paling baik agar menjadi manusia sempurna.
j. Ragam
hias burung bangau
Burung bangau dipercaya memiliki
umur yang sangat panjang bahkan dapat mencapai ratusan tahun. Ia dianggap
sebagai lambang penolakan keadaan yang tidak baik, sehingga diharapkan dapat
menghindari atau menjauhi bahaya apapun, supaya pada akhirnya dapat meraih
keselamatan dan berumur panjang.
k. Ragam
hias harimau
Melambangkan keindahan yang
disertai wibawa dan tangguh dalam menghadapi lawan
l. Ragam
hias motif kawung
Motif ini tersusun atas bentuk
elips, yang dapat diinterpretasikan sebagai gambar bunga lotus (teratai) dengan
4 lembar daun bunganya yang sedang mekar. Bunga ini melambangkan umur panjang
dan kesucian. Dewa juga dilambangkan dengan bunga teratai. Berdasarkan hal
tersebut, maka motif kawung menyimbolkan kedudukan raja sebagai pusat kekuasaan
mikrokosmos sejajar dengan dewa sebagai pusat kekuasaan makrokosmos.
Pada hakikatnya penggunaan kain
dodot dengan motif alas-alasan tersebut memiliki harapan yang baik sekaligus
sebagai penolak bala. Hal ini sesuai dengan ornamen-ornamen yang digambarkan
pada lembaran kain tersebut.
Namun sebelum dodot dipakai,
terlebih dahulu dikenakan samparan, yaitu kain panjang yang dikenakan sebagai
pakaian dalam bagian bawah. Kain tersebut berukuran 2,5 kacu atau 2,5 kali
lebar kain yang dikenakan dengan cara melilitkan kain dari kiri ke kanan. Sisa
kain yang biasanya digunakan sebagai wiron diurai ke bawah, di antara kedua
kaki mengarah ke belakang sehingga membentuk semacam ekor yang disebut seredan.
Pemakaian kain jenis ini disebut samparan. Dalam suatu pagelaran, kain yang
digunakan sebagai samparan adalah cindhe dengan motif Cakaran berwarna merah.
Selanjutnya dikenakan sondher,
yaitu kain panjang menyerupai selendang yang dikenakan untuk menari. Kain
tersebut biasanya memiliki panjang 3 meter dan lebar 50 cm, yang disebut sampur
atau udhet. Dalam suatu pagelaran, sondher yang dikenakan bermotif cindhe sekar
warna merah, ujungnya berhias gombyok atau rumbai warna emas